Senin, 07 Mei 2018

ANSOR RANTING MENAYU AKAN GELAR MUJAHADAH RIJALUL ANSOR

Menayu- Nanti malam, 08 Mei 2018 Ansor Ranting Menayu akan mengadakan Mujahadah Rijalul Ansor bersama Sahabat Ansor lain sekecamatan Muntilan. Acara tersebut rencananya akan dilaksanakan di Dusun Kepanjen Desa Menayu Kecamatan Muntilan. Akan hadir juga Ketua PC Ansor Kab.Magelang Anas Munaji sebagai Motivator. Saat ditemui penulis ketua Ansor Ranting Menayu, sahabat Asrofi mengatakan bahwa acara tersebut selain akan dihadiri oleh sahabat ansor sekecamatan Muntilan juga akan dihadiri oleh perwakilan NU, Muslimat, Fatayat dan Karang taruna sedesa Menayu. Acara tersebut akan dimeriahkan oleh grup rebana dari gondosuli Muntilan. Kyai Basir dari Saragan juga rencananya akan hadir untuk memimpin mujahadah nanti malam. Sahabat Turmudzi salah satu perwakilan dari PAC Muntilan memaparkan bahwa salah satu yang khas adalah sebelum acara mujahadah ini dimulai para hadirin bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, mars Ansor dan Yalal Waton. Dalam mujahadahpun   tahlil dibaca sebanyak 40.000 ribu kali. Namun  dibagi sejumlah orang yang hadir dalam mujahadah tersebut. Jadi semakin banyak yang hadir akan semakin singkat waktu pelaksanaan mujahadahnya.

Kamis, 23 November 2017

KAROMAH SIMBAH KYAI RADEN SANTRI


Dalam sejarahnya, nama Kiyai Raden Santri sangatlah dikenal oleh masyarakat sekitar, khususnya masyarakat Magelang. Kiyai Raden Santri akrab dipanggil Mbah Kiyai Raden Santri, adalah putra Ki Ageng Pamanahan dan bergelar Kanjeng Pangeran Singosari yang masih memiliki trah Prabu Brawijaya.
Kiyai Raden Santri adalah seorang ulama yang tergolong ulama awal penyebar agama Islam di sekitar gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo.
Menjelang Kerajaan Mataram berdiri, Kiyai Raden Santri pernah menjabat sebagai Senopati Perang yang bertugas mengajarkan salat kepada para prajurit. Saat akan mengajarkan salat kepada para prajurit, di dusun itu Kiyai Raden Santri tidak menemukan air untuk berwudlu.
Kemudian Kiyai Raden Santri berdo’a kepada Allah agar diberikan air. Lalu Kiyai Raden Santri membuat sendang dengan tongkatnya dan dengan izin Allah, sendang itupun memancarkan air, bahkan hingga kini sendang tersebut tak pernah berhenti memancarkan air, meski di musim kemarau sekalipun.
Sendang itu terletak di Dusun Kolosendang, Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Disebutkan pula, saat Kiyai Raden Santri menetap di Desa Santren, ia suka berkhalwat atau menyepi di puncak bukit Gunung Pring.
Suatu hari, ketia Kiyai Raden Santri hendak pulang dari bukit Gunung Pring menuju Desa Santren, ia mendapati sungai yang harus ia seberangi sedang meluap dan dilanda banjir. Kyai Raden Santri berkata kepada air “Air, berhentilah, aku mau menyeberang” maka luapan air itupun berhenti, batu-batu sungai bermunculan kembali karena banjir telah reda. Itulah sebabnya, tempat tersebut diberi nama Watucongol yang berarti batu bermunculan.

Keturunan Kiyai Raden Santri berturutan adalah Kiyai Krapyak I, Kiyai Krapyak II, Kiyai Krapyak III, Kiyai Harun, Kiyai Abdullah Sajad, Kiyai Raden Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajad, hingga Kiyai Dalhar, dan termasuk Kiyai Ahmad Abdulhaq.
Anak keturunan Kiyai Raden Santri inilah yang kemudian menjadi ulama penyebar dan menjadi tokoh agama Islam di wilayah Gunung Pring hingga saat ini. peran ini kini dilanjutkan melalui Pondok Pesantren Darussalam di Watucongol.
Komplek Makam Kiyai Raden Santri dan anak cucunya kebanyakan berada di kawasan atas Gunung Pring dan kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi ummat Islam dari berbagai penjuru tanah air.
“Raden Santri adalah sosok yang patut dicontoh, karena walaupun beliau seorang bangsawan, tapi sikap beliau tidak angkuh, tetap tawadhuk,” pungkas Salimna, pengurus kompleks Makam Raden Santri.
Ref: http://www.cirebontrust.com/kiyai-raden-santri-seorang-bangsawan-yang-memiliki-sifat-tawadhu.html

Minggu, 12 November 2017

KH. Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa


 
Jaringan ulama santri berjuang secara gigih dalam memperjuangkan negeri. Perjuangan para kiai dan santri pesantren dimulai embrionya sejak berabad silam. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa jaringan pesantren berkontribusi penting dalam perlawanan kolonial pada masa Perang Jawa (1825-1830). Para kiai pesantren menjadi tulang punggung laskar pendukung Dipanegara dalam Perang Jawa.

Akan tetapi, fakta sejarah ini terkesan hanya samar-samar dituliskan. Narasi pengetahuan dan ilmu sosial di Indonesia, belum memberikan ruang yang lebar bagi aksi para kiai-santri dalam berjuang melawan penjajah serta mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari riset tentang Perang Jawa mutakhir, yang tampil justru para ksatria yang dianggap berjuang dengan gagah. Sedangkan, para kiai-santri dikesampingkan dalam peranan menghadapi tentara Belanda (Carey, 2007; Djamhari, 2004).

Pada titik ini, jaringan ulama-santri perlu dibangkitkan kembali dalam narasi sejarah dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penulisan ulang, dengan sudut pandang yang berimbang, serta memberi ruang bagi kisah-kisah para kiai pesantren perlu dihadirkan untuk dipahami pembaca.

Kisah para Kiai dalam jaringan Perang Jawa, memunculkan nama Kiai Hasan Tuqo serta putranya Syekh Abdurrauf yang menjadi panglima perang pada masa itu. Perjuangan Kiai Hasan Tuqo dan Syekh Abdurrauf, diteruskan oleh cucunya, Kiai Dalhar bin Abdurrahman yang berjuang dalam mengawal santri berjuang pada masa kemerdekaan.  

Kiai Dalhar lahir di kawasan pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau lahir pada 10 Syawal 1286 H/ 12 Januari 1870. Nama kecilnya adalah Nahrowi, nama pemberian orang tuanya.

Nasab Kiai Dalhar tersambung pada trah Raja Mataram, Amangkurat III. Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Pada waktu perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Dipanegara berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu Panglima Perang Dipanegara, membantu laskar pada Perang Jawa. Dari silsilah Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III (memerintah 1703-1705), atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.

Pada waktu itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan Keraton, serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama desa Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan Tuqo.

Pada waktu Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanera dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur Melangi, serta Kiai Abdurrauf. Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang menjaga kawasan Magelang. Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara di kawasan ini.

Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Muntilan.  Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.

Rihlah ilmiyyah Kiai Dalhar

Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.

Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di pesantren Sumolangu, di bawah asuhan Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau dikenal sebagai Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani. Ketika mengaji di pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem sang Syaikh selaam delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.

Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syaikh Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi'iyyah Makkah. Di rubath kawasan Misfalah, Kiai Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama mengaji di Makkah.

Pada tahun pertama Kiai Dalhar mengaji di Makkah, terjadi peristiwa penyerangan Hijaz oleh tentara Sekutu. Tanah Hijaz yang masuk dalam kuasa Turki Utsmani diserang oleh tentara sekutu. Syekh Muhammad al-Jilani mendapat tugas untuk berjuang membantu perlawanan tanah Hijaz, setelah 3 bulan mengaji. Sedangkan, Kiai Dalhar beruntung dapat terus mengaji selama 25 tahun di tanah suci.

Di tanah Hijaz, nama "Dalhar" menemukan sejarahnya, yakni pemberian dari Syaikh Sayyid Muhammad  Babashol al-Hasani, hingga tersemat nama Nahrowi Dalhar. Kiai Dalhar memperoleh ijazah mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani.

Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama 'alim, sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah thariqah syadziliyyah kepada 3 orang muridnya, yakni Kiai Iskandar Salatiga, Kiai Dhimyati Banten, dan Kiai Ahmad Abdul Haq.

Ketika mengaji di Makkah, secara istiqomah Kiai Dalhar tidak pernah buang hadats di tanah suci. Ketika ingin berhadats, Kiai Dalhar memilih pergi di luar tanah Suci, sebagai bentuk penghormatan. Inilah bentuk ta'dzim sekaligus sikap istiqomah Kiai Dalhar yang telah teruji.

Kiai Dalhar dikenal menulis beberapa kitab, di antaranya: Kitab Tanwir al-Ma'ani, Manaqib Syaikh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani, Imam Tariqah Saydziliyyah. Kiai Dalhar juga menjadi rujukan beberapa kiai yang kemudian menjadi pengasuh pesantren-pesantren ternama. Di antara murid Kiai Dalhar, yakni Kiai Ma'shum (Lasem), Kiai Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), Kiai Marzuki Giriloyo serta Gus Miek.

Gus Miek juga dikenal dekat dengan Kiai Dalhar. Dalam catatan Ibad (2007: 31), Gus Miek bisa membina hubungan dengan Mbah Jogoroso, Kiai Ashari, Gus Mad putra Kiai Dalhar, Kiai Mansyur dan Kiai Arwani. Kemudian, mata rantai berlanjut, dari Kiai Ashari, Gus Miek membina hubungan dengan Kiai Abdurrahman bin Hasyim (Mbah Benu) dan Kiai Hamid Kajoran. Lalu, dari Kiai Hamid Kajoran, Gus Miek berinteraksi dengan Mbah Juneid, Mbah Mangli dan Mbah Muslih Mranggen.

Perjuangan kebangsaan

Ketika era perjuangan melawan rezim kolonial, peran Kiai Dalhar tidak bisa dilupakan. Para pejuang di kawasan Magelang, Yogyakarta, Banyumas dan kawasan Bagelen-Kedu datang ke pesantren Kiai Dalhar untuk meminta doa. Oleh Kiai Dalhar, para pejuang diberi asma', doa dan ijazah kekebalan, serta diberi bambu runcing yang telah diberi doa. Dikisahkan, ketika para pejuang menggempur Belanda di kawasan Benteng Ambarawa, dimudahkan oleh Allah dengan semangat dan kekuatan. Dorongan doa dan semangat yang diberikan Kiai Dalhar serta beberapa kiai lainnya, menambah daya juang para santri untuk bertempur mengawal kemerdekaan.

Pertempuran laskar santri dan pemuda melawan tentara sekutu, meletus pada 21 November 1945. Atas desakan laskar dan tentara rakyat, yang dikomando oleh Jendral Soedirman, tentara sekutu mundur ke Semarang. Namun, mundurnya Sekutu juga membuat ribut di Ambarawa, yang kemudian disebut Palagan Ambarawa. Pada perang ini, Laskar Hizbullah dari Yogyakarta dan kawasan sekitar, bersatu dengan beberapa tentara rakyat mengepung Ambarawa. Laskar Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, tepatnya di kawasan Jambu dan Banyubiru.

Front Ambarawa dikepung dari beberapa penjuru. Kawasan Selatan dikepung pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga. Utara ditempati pasukan Kedu dan Ambarawa, dari sisi Timur hadir pasukan Divisi IV BKR Salatiga. Pihak Belanda dan tentara Sekutu bermarkas di Kompleks Gereja Margo Agung, serta pos militer di perkebunan. Laskar santri di bawah komando Bachron Edress berhasil mengakses front Ambarawa. Laskar-laskar santri dan pemuda yang bertempur di Ambarawa, sebagian besar sowan ke Kiai Dalhar Watucongol dan Kiai Subchi Parakan untuk minta doa sebelum bergerilya.

Mbah Kiai Dalhar mencatatkan sejarah dalam jaringan ulama Nusantara, sebagai rujukan keilmuan, perjuangan serta sufisme dalam tradisi pesantren. Kiai Dalhar wafat pada 23 Ramadhan, bertepatan dengan 8 April 1959. Jasad Kiai Dalhar dikebumikan di pemakaman Gunungpring, Watucongol, Muntilan, Magelang. Kisah perjuangan dan keteladanan Kiai Dalhar menjadi bukti betapa penting jaringan ulama-santri dalam mengawal negeri, menjemput kemerdekaan Indonesia[].

Ref : Munawir aziz, http://www.nu.or.id/post/read/66785/kh-dalhar-watucongol-kiai-pejuang-dan-cucu-panglima-perang-jawa

Senin, 23 Oktober 2017

NU Ranting Menayu Ikut Meriahkan Hari Santri

Menayu - Ratusan warga NU dan Banom Ranting Menayu mengadakan Apel Hari Santri Nasional (HSN) di depan Masjid Baitussa'aadah dusun Jambean, Menayu Kec. Muntilan, Ahad (22/10/2017). Acara tersebut dilaksanakan sebagai bukti cinta pada tanah air. 
Peringatan kali ini merupakan tahun ketiga setelah keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Hal ini merupakan bukti pengakuan negara yang jelas atas jasa para ulama dan santri dalam upaya merebut, mempertahankan serta mengisi kemerdekaan ini.
Sebelum apel dilaksanakan masyarakat di ajak untuk berziarah ke makam para pejuang Nu di desa Menayu. Ziarah dimulai pukul 06.30 dengan rute makam Dusun Menayu, makam dusun Kepanjen, makam Dusun Sorogenen dan makam Dusun Jambean . Beberapa ahli kubur yang diziarahi adalah Simbah kyai soro, simbah kyai mundakir, simbah Ky. H. Ahmad Badawi, simbah Ky. H. Adib Nurhadi (sorogenen), simbah Kyai Beber, Simbah Mayar dan mbah Walimah (Jambean).
Setelah ziarah selesai kemudian dilanjutkan dengan apel besama didepan Masjid Baitussa'aadah. Bertindak sebagai pembina apel Risa Nurhayati, salah satu santri di Madin Nuurus sa'aadah. Risa menyampaikan bahaya Narkoba dan juga bahaya dari HP jika tidak tepat dalam menggunakannya maka akan berakibat buruk bagi penggunanya. Kemudian acara dilanjutkan tausiyah oleh bapak Kyai Abas selaku Syuriyah NU ranting menayu. Beliau menekankan bahwa orang NU harus benar-benar tau tentang NU yang sesungguhnya. Jangan sampai hanya karena keturunan ataupun taklid buta.

Minggu, 10 September 2017

PEMAHAMAN TERHADAP AHLUSSUNAH WALJAMA’AH

 
Paham Ahlussunah Waljama’ah sebenarnya telah terformat sejak masa awal islam yang ajarannya merupakan pengembangan pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode Shohabat dan Tabi’in.Yaitu pemikiran keagamaam yang menjadikan Hadis sebagai rujukan pertama setelah Al-Quran.Istilah Ahlussunah Wa-jama’ah awalnya merupakan nama bagi aliran As’ariah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi dari paham Muktazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun 100H/781 M dan mencapai puncaknya pada masa kholifah Abasiyah,yaitu Al-makmun (981-833M),Al-mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M).Pengaruh ini semakin kuat ketika paham muktazilah dijadikan sebagai madzhab resmi yang dianut negara pada masa Al-Ma’mun.
Imam Al Asy’ari dan dan Abu Mansur Al Maturidi adalah dua sosok yang memiliki tempat tersendiri dikalangan kaum Sunni karena melalui dua ulama’ kharismatik itulah  Ahlussunah Waljama’ah lahir sebagai faham ideologi keagamaan.Paham ini lahir sebagai reaksi terhadap perkembangan pemikiran kelompok muktazilah yang begitu ”liar’,dimana doktrin ketuhanan dan keimanannya  semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis yang dasyat.
Kaitannya denagn pandangan Jabariah yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qodariah yanag berfaham tentang kemampuan manusia untuk menentukan perbuatannya,seperti dalam tatapan ideologis kaum Syi’ah dan Mu’tazilah,kaum Sunni (baca : Ahlussunah Waljama’ah) membuat garis batas yang jelas terhadap kedua kelompok tersebut.Secara epistimologi Ahlussunah Waljama’ah bisa diartikan sebagai”Para penganut tradisi Nabi Muhammad SAW dan ijma’ ulama’ ”.
Adapun secara terminologi,Ahlussunah Waljama’ah berarti ”Ajaran islam yang murni sebagai mana yang diajarkan dan diamlkan oleh Rosululloh SAW,bersama para Sahabatnya.Pengertian ini mengacu pada hadist Nabi yang terkenal: ”Hal mana Nabi memprediksikan bahwa suatu saat kelak umat Islam akan terpecah kedalam 73 golongan,semua celaka kecuali satu firqoh,yaitu mereka yang berpegang teguh pada pegangan beliau dan pegangan para sahabat – sahabatnya”.dalam hadist lain yang senada,golongan yang selamat ini disebut sebagai Ahlussunah Waljama’ah.
TANTANGAN YANG HARUS DIHADAPI DALAM PELESTARIAN AHLUSSUNAH WALJAMA’AH
Ada beberapa tantangan yang harus kita hadapi dan waspadai agar generasi kita baik itu dari IPNU-IPPNU,ANSOR-FATAYAT maupun yang lainnya tidak mudah untuk mengikuti ideologi tersebut.
Tantangan-tantangan tersebut antara lain:
1.Munculnya ideologi-ideologi islam,kelompok radikal,dan kelompok islam politik.
2.Munculnya isu-isu pro pasar dan mendukung sepenuhnya proses penyebaran liberalisme di Indonesia,demokrasi,pluralisme,multi kulturalisme dan masih banyak lagi.
3.munculnya aliran-aliran sempalan islam seperti aliran Lia Eden,Ahmadiah dll.
Kemunculan berbagai ideologi dan pemikiran ini harus segera di jawab,tetapi bukan dengan reaksioner atau perlawanan melainkan dengan cara membumikan atau menanamkan yang kuat akan ajaran Ahlussunah waljama’ah menjadi lebih aplikatif,transformatif,dan berpihak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
REF:Buku Ke-NU-an.MA/SMA/SMK Klas XI